BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pendidikan di
Indonesia sudah ada sebelum negara Indonesia berdiri. Sebab itu sejarah
pendidikan di Indonesia juga cukup panjang. Pendidikan itu telah ada sejak
zaman kuno, kemudian diteruskan dengan zaman pengaruh agama Hindu dan Budha,
zaman pengaruh agama Islam, pendidikan jaman penjajahan sampai dengan
pendidikan pada zaman kemerdekaan.
Penaklukan
bangsa Barat atas dunia Timur dimulai dengan jalan perdagangan, kemudian dengan
kekuasaan militer. Selama zaman penjajahan Barat itu berjalanlah proses
westernisasi Indonesia. Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa kemajuan
teknologi. Tetapi tujuannya adalah utuk meningkatkan hasil penjajahannya, bukan
untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula di bidang pendidikan. Mereka
memperkenalkan sistem dan metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga
yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan
dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Apa yang mereka sebut
pembaharuan pendidikan itu adalah westernisasi dan Kristenisasi, yakni untuk
kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan
penjajahan barat di Indonesia selama 3,5 abad.
B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimana bentuk Pendidikan Islam di Indonesia pada masa
penjajahan Belanda ?
2. Bagaimana bentuk Pendidikan Islam di Indonesia pada masa
penjajahan Jepang ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pendidikan Islam pada masa
penjajahan Belanda
Penaklukan bangsa
Barat atas dunia Timur dimulai dengan jalan perdagangan,kemudian dengan
kekuatan militer.Selama zaman penjajahan Barat itu berjalanlah proses
westernisasi Indonesia.Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa kemajuan
teknologi.Tetapi tujuannya adalah untuk meningkaatkan hasil penjajahannya,bukan
untuk kemakmuran bangsa yang dijajah.Begitu pula di bidang pendidikan.Mereka
memperkenalkan sisitem dan metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga
yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan
dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat.Apa yang mereka sebut
pemabaharuan pendidikan itu adalah westernisasi dari kristenisasi yakni untuk
kepentingan Barat dan Nasrani.Di samping itu sebagai bangsa penjajah pada
umumnya mereka menganut pikiran Machievelli yang menyatakan antara lain:
1)
Agama sangat diperlukan bagi pemerintah penjajah
2)
Agama tersebut dipakai untuk menjinakkan dan menaklukan rakyat.
3)
Setiap aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan
harus dibawa untuk memecah belah dan agar mereka berbuat untuk mencari bantuan
kepada pemerintah.
4)
Janji dengan rakyat tak perlu ditepati jika merugikan.
5)
Tujuan dapat menghalalkan segala cara.
Sejak
dari zaman VOC(Belanda Swasta)kedatangan mereka di Indonesia sudah bermotif
ekonomi,politik dan agama.
Pada masa VOC, yang merupakan sebuah
kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan
tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di
negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh
organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang
pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC.
Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama
(gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh
tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada
ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Secara umum sistem
pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan Dasar
2. Sekolah Latin
3. Seminarium Theologicum (Sekolah
Seminari)
4. Academie der Marine (Akademi
Pelayanan)
5. Sekolah Cina
6. Pendidikan Islam[1]
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga
yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal
masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia
Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada
masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya.
Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar
kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak atau tidak
memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan
lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan
guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut
pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan diukur
dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan
sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial.
Maka pada tahun 1901 muncullah apa yang disebut dengan politik ETIS yakni
politik balas budi bangsa Belanda kepada Indonesia. Pencetus politik ini adalah
Van Deventer, yang kemudian politik ini dikenal juga dengan Trilogi Van Deventer.
Secara umum isi dari politik ETIS ini ada tiga macam yaitu, Education
(pendidikan), Imigrasi (perpindahan penduduk) dan Irigasi (pengairan). Yang
akan dikupas adalah mengenai education atau pendidikan.[2]
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak
diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan
dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS),
sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan.
(2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan
pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan islam pada zaman kolonial belanda
tidak mendapat rintangan.hal ini ditandai dengan bermunculanya lembaga-lembaga
pendidikan yang semuanya berjalan dengan lancar walaupun terlihat abiturienya
tidak bisa diterima oleh mereka dan yakin kalau kesadaran dari pihak islam
telah timbul untuk tidak bekerja pada belanda yang telah menjadi perintang
kemajuan bangsa. Kenyataan seperti ini sayang msih berlaku sampai sekarang
sehingga orang-orang islam kurang berperan dalam pemerintahan. Hal ini tentu
penyebabnya adalah melemahnya kekuatan politik islam walaupun islam di
indonesia mencapai jumlah yang sangat banyak[3]
. Pendidikan
Islam pada masa Penjajahan Belanda.
Kehadiran Belanda tidak hanya
mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, tetapi juga menekan politik dan
kehidupan keagamaan rakyat. Segala aktivitas umat Islam yang berkaitan dengan
kehidupan keagamaan ditekan. Belanda terus menerapkan langkah-langkah yang
membatasi gerak pengamalan agama Islam. Termasuk juga terhadap pendidikan Islam
sendiri. Politik pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas
Islam didasari oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya dan rasa
kolonialismenya.
Pemerintah kolonial Belanda
memperkenalkan sekolah-sekolah modern menurut sistem persekolahan yang
berkembang di dunia barat, sedikit banyak mempengaruhi sistem pendidikan di
Indonesia, yaitu pesantren. Padahal di ketahui bahwa pesantren merupakan
merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal di Indonesia sebelum adanya
kolonial Belanda, justru sangat berbeda dalam sistem dan pengelolaannya dengan
sekolah yang diperkenalkan oleh Belanda.
Betul pada zaman kolonial Belanda
telah didirikan beraneka masam sekolah, ada yang bernama Sekolah Dasar, Sekolah
Kelas II, HIS, MULO, AMS dan lain-lain. Tetapi sekolah-sekolah tersebut
seluruhnya hanya mengajarkan mata pelajaran umum, tidak memberikan mata
pelajaran agama sama sekali, hal ini terkait kebijakan pemerintah kolonial
Belanda. Pada tahun 1905 Belanda memberikan aturan bahwa setiap guru
agama harus minta izin dahulu. Peraturan itu besar sekali pengaruhnya dalam
menghambat perkembangan pendidikan Islam.
Umat Islam pada masa itu mengenal
dua bentuk lembaga pendidikan yang dikelola umat Islam dan yang dikelola
kolonial. Sistem pendidikan yang dikelola Belanda adalah pendidikan modern
liberal dan netral agama. Namun kenetralan Belanda ternyata tidak konsisten
karena Belanda lebih melindungi Kristen dari pada Islam. Mereka menganggap
Islam memiliki kekuatan politik yang membahayakan mereka. Maka Islam senantiasa
mengalami tekanan dan selalu diawasi gerak geriknya.
Pada tahun 1832 M pemerintah Belanda
membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan
pendidikan Islam yang disebut Presterraden. Atas nasihat dari badan inilah maka
pada tahun 1905 M pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang
yang memberikan pengajaran (pengajian) harus meminta izin lebih dahulu. Pada
tahun 1925M pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap
pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan
pelajaran mengaji. Pada tahun 1932M keluar pula peraturan yang dapat
memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau
memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah yang disebut ordanansi
sekolah liar.
Selanjutnya pada bagian ini akan
dijelaskan periode pendidikan Islam yang dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama,
pendidikan Islam sebelum tahun 1900. Kedua, pendidikan pada masa peralihan.
Ketiga, Pendidikan Islam sesudah 1909.
2.1
Pendidikan Islam sebelum tahun 1900
Dua lembaga pendidikan memegang
peranan penting pada penyebaran agama Islam, yaitu langgar dan Pesantren.
Karena Islam berprinsip demokratis, maka pengajarannya merupakan pengajaran
rakyat. Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut kedua lembaga tersebut.
2.1.1. Langgar
- tujuan : memberikan pengetahuan tentang agama
(membaca al-Quran sampai tamat), bukan memberikan pengetahuan umum.
- Kurikulum : mempelajari abjad Arab, kemudian
mengeja ayat-ayat al-Quran pertama dengan irama suara tertentu.
- Pendidik : adalah seorang yang sudah memiliki
pengetahuan agama yang agak mendalam. Guru itu dipandang sebagai seseorang
yang sakti. Murid-murid tidak boleh mengecam guru. Mengecam guru dianggap
berdosa.
- Peserta didik : semua anak dari berbagai
kalangan.
- Metode: halaqoh
- Waktu belajar: biasanya berlangsung kurang
lebih setahun, tetapi kadang-kadang hanya diikuti beberapa bulan saja.
Biasanya pelajaran diberikan pada pagi hari dan malam hari, berlangsung
kira-kira dua jam lamanya.
Sebagai lembaga sosial langgar itu
penting artinya. Anak-anak rakyatlambat laun menyadari menjadi anggota
persekutuan besar, yaitu persekutuan umat Islam.
2.1.2. Pesantren
Pengajaran yang lebih lanjut dan
lebih mendalam diberikan di pesantren. Berikut komponen lembaga pesantren pada
masa ini:
- Tujuan : sama dengan pendidikan langgar yaitu
memberikan pengetahuan tentang agama (membaca al-Quran sampai tamat),
bukan memberikan pengetahuan umum.
- Kurikulum : Ushuluddin (pokok-pokok ajaran
kepercayaan), Usul Fiqh (alat penggali hukum dari Quran dan Hadist, Fiqih,
dan ilmu Arobiyah (untuk mendalami bahasa agama)
- Metode : sorogan (bimbingan individual) dan
bandongan atau halaqah (semaca, ceramah umum)
- Pendidik: disebut ajengan atau kiyai.
- Peserta didik : dinamakan santri pada umumnya
terdiri dari anak-anak yang lebih tua dan telah memiliki pengetahuan dasar
yang telah mereka peroleh di langgar.
- Lama belajar : ada yang setahun, ada juga yang
sampai sepuluh tahun atau lebih. Banyak santri yang belajar pada beberapa
pesantren. Pelajaran pertama diberikan pada pagi hari, sesudai selesai
sembahyang subuh. Sesudah itu para santri melakukan kerja bakti bagi bagi
gurunya, umpamanya: membersihkan halaman, berkebun, bekerja di sawah, dan
sebagainya. Sesudah makan siang semua istirahat, untuk kemudian dimukai
lagi dengan pelajaran dan diselingi dengan menghapal. Ba’da maghrib ataau
ba’da isya dimulai lagi dengan pelajaran.
Pendidikan Islam pada masa ini
bercirikan hal-hal berikut:
- Pelajaran diberikan satu demi satu
- Pelajaran ilmu sharf didahulukan dari ilmu nahu
- Buku pelajaran pada mulanya dikarang oleh ulama
Indonesia dan diterjemahkan ke dalam bahasa daerah setempat
- Kitab yang digunakan umumnya ditulis tangan
- Pelajaran suatu ilmu, hanya diajarkjan dalam
satu macam buku saja
- Toko buku belum ada, yang ada hanya diajarkan
dalam satu macam buku saja
- Karena terbatasnya bacaan, materi ilmu agama
sangat sedikit
- Belum lahir aliran baru dalam Islam.
Pada periode ini memang sulit untuk
menentukan secara pasti kapan dan dimana surau atau langgar dan pesantren
pertama kali berdiri. Kendati demikian dapat diketahui bahwa pada abad ke-17 M
di Jawa telah terdapat pesantren Sunan Bonang di Tuban, Sunan Ampel di
Surabaya, Sunan Giri di Sidomukti dan sebgainya. Namun sebenarnya jauh sebelum
itu telah ada sebuah pesantren di hutan Glagah Arum (sebelah selatan Jepara)
yang didirikan oleh Raden Fatah tahun 1745. Sementara di Sumatra tempat
pengajian diseb surau yang sangat sulit untuk dilacak secara pasti tahun dan
dimana berdirinya.
2.2
Pendidikan Islam pada masa peralihan (1900-1908)
Kalau sebelum tahun 1900
lembaga-lembaga pendidikan Islam masih relatif sedikit dan berlangsung secara
sederhana. Lain halnya setelah itu. Dalam periode yang disebut peralihan ini
telah banyak berdiri tempat pendidikan Islam terkenal di Sumatera, seperti
Surau Parabek Bukit Tinggi (1908) yang didirikan oleh Syekh H. Ibarahim Parabek
dan di Pulau jawa seperti pesantren Tebuireng pendirinya
adalah K.H. Hasyim Ashari. Namun sistem madrasah belum dikenal.
Periode peralihan ini boleh
dikatakan dipelopori oelh Syekh Kharib Minangkabau dan kawan-kawannya yang
banyak mengajar menddik dan mengajar pemuda di Mekkah, terutama
pemuda-pemuda yang berasal dari Indonesia dan Malaya. Murid-murid beliau
seperti H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), K.H. Ahmad Dahlan (pendiri
Muhammadiyah) di Yogyakarta dan kemudian Nahdatul Ulama. Dengan demikian sudah
barang tentu murid-murid mereka yang kembali dari Mekkah ikut andil dalam
pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia sekembalinya dari Mekkah.
Berikut ini adalah materi
pendidikan Islam yang berkembang di Minangkabau :
-
Belajar huruf Hijaiyyah
-
Pengajian kitab yang terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu:
- Mengaji Nahwu, Sarf, dan fiqih dengan
kitab-kitab Ajrumiyah, Matan bina, Fathul Qarib, dan sebagainya.
- Mengaji Tauhid dengan kitab-kitab sanusi, Syekh
Khalid (Azhari dan Asymawi), Fathul Mu’in, dan lainnya.
- Mengaji tafsir dengan kitab Kifayatul Awam
(Ummul Barahin, Baidawi, Jalalin, dan lain-lain.
-
Penga;jian ilmu tasawuf, mantiq, dan Balagoh. Kitab yang digunakan adalah kitab
Sullam, Idahul Mubham, Jauhar Maknun/Talkhis, dan Ihya
Ulumudin.
Adapun ciri-ciri pelajaran agama
Islam pada masa peralihan ini berupa :
- Pelajaran untuk dua sampai enam ilmu dihimpun
secara sekaligus.
- Pelajaran ilmu Nahwu didahulukan atau disamakan
dengan ilmu sarf
- Buku peljaran semuanya karangan ulama Islam
kuno dan dalam bahasa Arab
- Buku-buku semuanya dicetak
- Suatu ilmu diajarkan dari beberapa macam buku,
rendah, menengah, dan tinggi.
- Lahirnya aliran baru dalam Islam seperti yang
dibawa oleh Majalah al-Manar di Mesir mulai lahir
Dengan demikian terlihat jelas
adanya perbedaan pelaksanaan pendidikan islam pada masa peralihan dengan masa
sebelum tahun 1900. Terlihat bahwa pendidikan Islam setelah tahun 1900 sudah
mengalami kemajuan sedemikian rupa. Padahal waktu itu kebijakan
pemerintah kolonial Belanda terhadap poendidikan Islam di Indonesia sedang
ketat-ketatnya.
2.3
Pendidikan Islam sesudah tahun 1909
Isu nasionalisme tampak gaungnya
kemana-mana berkat tampilnya Budi Utomo pada tahun 1908, yang menyadarkan
bangsa Indonesia, bahwa perjuangan mereka yang selama ini Cuma mengandalkan
kekuatan dan kedaerahan tampa memperhatikan persatuan, sulit untuk mencapai
keberhasilan, karena itulah sejak tahun 1908 timbul semacam kesadaran baru dari
bangsa Indonesia untuk memperkuat persatuan.
Tak terkecuali kesadaran yang
demikian juga muncul pada kalangan pendidik Islam. Ulama-ulama yang pada waktu
itu menyadari bahwa sistem pendidikan langgar dan pesantren tradisional sudah
tidak begitu sesuai dengan iklim Indonesia dan jumlah murid yang ingin belajar
dari hari ke hari semakian bertambah. Maka dirasakan penting memberikan
pendidikan secara teratur d madarasah atau sekolah.
Dengan demikian selain dua corak
pendidikan sebelumnya, yaitu corak pendidikan Belanda yang khusus berpusat pada
pengetahuan dan keterampilan duniawi serta dikelola secara modern dan hanya
kalangan tertentu yang bisa memasuki sekolah ini, serta pendidikan Islam yang
berpusat pada pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi penghayatan agama
yang dikelola secara tradisional, maka muncullah corak pendidikan ketiga
yang merupakan perpaduan antara corak pertama dan kedua. Corak pendidikan
ini muncul bersamaan dengan lahirnya madrasah-madrasah yang berkelas yang
muncul sejak tahun 1909 yang dipelopori oleh para pembaharu di Indonesia.
Tampaknya kehadiran madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya mempunyai latar belakang,
diantaranya:
- Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan
sistem pendidikan Islam.
- Unruk penyempurnaan terhadap sistem pesantren
ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya
memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya kesamaan
kesempatan kerja dan memperoleh ijazah
- Adanya sikap mental pada sebagian umat Islam,
khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka
- Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem
pendidikan tradisional oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari
hasil akulturasi.
Adapun madrasah-madrasah yang
didirikan di Indonesia antara lain:
- Madrasah Adabiyah School.
Berdiri pada tahun 1907 di Padang
Panjang. Pendirinya adalah H.Abdullah. sekolah ini merupakan HIS pertama di
Minangkabau.
Sebagai sekolah yang merupakan
bentuk adaptasi dati sistem pen didikan
suarau ke sistem Barat maka perhatian terhadap pendidikan agama sangat kecil.
Pendidikan umum lebih ditekankan daripada pendidikan agama. Hal inilah yang
membedakan antara HIS Belanda dan HIS H. Abdullah yaitu diajarkannya pendidikan
agama dan Al-Quran sebagai mata pelajaran wajib.
- Madrasah Diniyyah School
Pendirinya adalah Zainuddin Labia
El-Yunisi, berdiri pada tahun 1915.
Pembaharuan yang dilakukan oleh
Zainuddin adalah dengan sistem klasikal. Kurikulumnya pengetahuan umum
(hikmah Tasyri, akhlak , ilmu bumi, tarih Islam dan menulis) dan pengetahuan
agama. Diniyah school terdiri dari 7 kelas seperti HIS.
- Sumatera Thawalib
Lahirnya madrasah pada tahun 1918
di padang karena jasa Syekh H. Abdul Karim Amrullah. Sistem pendidikan halaqah
diganti dengan sitem pendidikan berkelas-kelas. Berbeda dengan diniyah
school, thawalib belum menambahkan materi pelajaran umum namun sudah
menggunakan literatur klasik dan modern
- Madrasah Muhammadiyah
Pendirinya adalah K.H.Ahmad Dahlan.
Didirikan tahun 1912 di kota Yogjakarta.
Asa pendidikannya adalah Islam. Tujuannya
adalah mewujudkan orang-orang muslim yang berakhlak mulia, cakap, percaya
kepada diri sendiri, dan berguna bagi masyarakat dan negara.
Karena rencana pengajarannya sesuai
dengan pengajaran pemerintah Hindia Belanda, maka banyak sekolah-sekolahnya
yang mendapat subsidi dari pemerintah. Sekolah-sekolah yang didirikan
Muhammadiyah adalah, Ibtidaiyyah, Tsanawiyah, Diniyah, Mualimin/mualimmat,
Kuliyyatul Mubaligin.
2.4. Organisasi Islam dan
Pendidikan di Indonesia (Tahun 1905-1930)
Dibawah ini adalah nama-nama
organisasi massa Islam yang berdiri antara tahun 1905-1930, yaitu:
- Jami’ah al- Khairiyah
Organisasi sosial yang berperan
dalam melakukan perubahan sistem atau lembaga pendidikan Islam terutama di
Jakarta. Lengkapnya Al-Jamiatul Khairiyah. Merupakan organisasi pendidikan
Islam tertua di Jakarta, didirikan tahun 1901 dengan peran besar para ulama
asal Arab Hadramaut dan juga pemuda Alawiyyin, seperti Habib Abubakar bin Ali
bin Abubakar bin Umar Shahab, Sayid Muhammad Al-Fakir Ibn. Abn. Al Rahman Al Mansyur,
Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas,
Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Abubakar bin Muhammad Alhabsyi dan Syechan bin
Ahmad Shahab. Di tangan ulama-ulama inilah Jamiatul Khair tumbuh pesat.
Organisasi Pembaharuan Islam ini
berkantor di daerah Pekojan di Tanjung Priok (Jakarta). Oleh karena
perkembangannya dari waktu ke waktu semakin pesat, maka pusat organisasi ini
dipindahkan dari Pekojan ke Jl. Karet, Tanah Abang. Organisasi ini dikenal
banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, terdiri dari tokoh-tokoh gerakan
pembaharuan agama Islam antara lain, Kyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri
Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh
Sarekat Dagang Islam), dan H. Agus Salim. Bahkan beberapa tokoh perintis
kemerdekaan juga merupakan anggota atau setidaknya mempunyai hubungan dekat
dengan Jamiatul Khair.
Awalnya memusatkan usahanya pada
pendidikan, namun kemudian memperluasnya dengan dakwah dan penerbitan surat
kabar harian Utusan Hindia di bawah pimpinan Haji Umar Said Cokroaminoto
(Maret 1913). Kegiatan organisasi juga meluas dengan mendirikan Panti Asuhan
Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, Habib Abubakar bersama sejumlah Alawiyyin
juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di Jl. Karet dan putri (banat)
di Jl. Kebon Melati serta cabang Jamiatul Khair di Tanah Tinggi Senen.
Pemimpin-pemimpin Jamiatul Khair
mempunyai hubungan yang luas dengan luar negeri, terutama negeri-negeri Islam
seperti Mesir dan Turki. Mereka mendatangkan majalah-majalah dan surat-surat
kabar yang dapat membangkitkan nasionalisme Indonesia, seperti Al-Mu’ayat,
Al-Liwa, Al-ittihad dan lainnya. Tahun 1903 Jamiatul Khair mengajukan
permohonan untuk diakui sebagai sebuah organisasi atau perkumpulan dan tahun
1905 permohonan itu dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan catatan
tidak boleh membuka cabang-cabangnya di luar di Batavia.
- Perserikatan Ulama Indonesia
Dalam merealisasi cita-citanya
untuk pertama kalinya Abdul Halim mendirikan Majlis Ilmu (1911) sebagai tempat
pendidikan agama dalam bentuk yang sangat sederhana pada sebuah surau yang
terbuat dari bambu. Pada majlis ini ia meberikan pengetahuan agama kepada para
santrinya. Dengan bantuan mertuanya, KH. Muhammad Ilyas, serta dukungan
masyarakat Abdul Halim dapat terus mengembangkan idenya. Pada perkembangan
berikutnya, di atas tanah mertuanya ia dapat membangun tempat pendidikan yang
dilengkapi dengan asrama sebagai tempat tinggal para santri.
Untuk memantapkan
langkah-langkahnya pada tahun 1912 ia mendirikan suatu perkumpulan atau
organisasi bernama “Hayatul Qulub. Melalui lembaga ini ia mengembangkan ide
pembaruan pendidikan, juga aktif dalam bidang sosialo ekonomi dan
kemasyarakatan. Anggota perkumpulan ini terdiri atas para tokoh masyarakat ,
santri, pedagang, dan petani.
Langkah-langkah perbaikannya
meliputi delapan bidang perbaikan yng disebut dengan Islah as-Samaniyah,
yaitu islah al-aqidah (perbaikan bidang aqidah), islah al-ibadah
(perbaikan bidang ibadah), islah at-tarbiyah (perbaikan bidang
pendidikan), islah al-ailah (perbaikan bidang keluarga), islah
al-adah (perbaikan bidang kebiasaan), islah al-mujtama (perbaikan
masyarakat), islah al-iqtisad (perbaikan bidang perekonomian), dan islah
al-ummah (perbaikan bidang hubungan umat dan tolong-menolong).
Pada tanggal 16 Mei 1916 Abdul
Halim mendirikan Jam’iyah I’anah al-Muta’alimin sebagai upaya untuk terus
mengembangkan bidang pendidikan. Untuk ini ia menjalin hubungan dengan Jam’iyat
Khair dan al-Irsyad di Jakarta. Melihat sambutan yang cukup tinggi, yang dinilai
oleh pihak kolonial dapat merongrong pemerintahan, maka pada tahun 1917
organisasi ini pun dibubarkan. Dengan dorongan dari sahabatnya, HOS.
Tjokroaminoto (Presiden Sarekat Islam pada waktu itu), pada tahun itu juga ia
mendirikan Persyarikatan Ulama. Organisasi ini diakui oleh pemerintahan
kolonial Belanda pada tanggal 21 Desember 1917. Pada tahun 1924 daerah operasi
organisasi ini sampai ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 terus
disebarkan ke seluruh Indonesia.
Abdul Halim juga memandang perlu
memberikan bekal keterampilan kepada anak didik agar kelak hidup mandiri tanpa
harus tergantung pada orang lain atau menjadi pegawai pemerintah. Ide ini
direalisasinya dengan mendirikan sekolah /pesantren kerja bersama bernama Santi
Asromo pada bulan April 1942, yang bertempat di Desa Pasirayu, Kecamatan
Sukahaji, Majalengka. Di samping mengembangkan bidang pendidikan, Abdul Halim
juga memperluas usaha bidang dakwah. Ia selalu menjalin hubungan dengan
beberapa organisasi lainnya di Indonesia, seperti dengan Muhammadiyah di
Yogyakarta, Sarekat Islam, dan Ittihad al-Islamiyah (AII) di Sukabumi. Inti
dakwahnya adalah mengukuhkan ukhuwah Islamiah (kerukunan Islam) dengan penuh
cinta kasih, sebagai usaha menampakkan syiar Islam, guna mengusir penjajahan. Dalam
bidang aqidah dan ibadah amaliah Abdul Halim menganut paham ahlussunnah
waljama’ah, yang dalam fikihnya mengikuti paham Syafi’iyah. Pada tahun 1942
ia mengubah Persyarikatan Ulama menjadi Perikatan Umat Islam yang (kemudian)
pada tahun 1952 melakukan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII),
menjadi “Persatuan Umat Islam” (PUI), yang berkedudukan di Bandung
- Muhammadiyah (DIY, 18 November 1912)
Muhammadiyah adalah sebuah
organisasi Islam ang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama
Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat
dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Tujuan utama Muhammadiyah adalah
mengembalikan seluruh penyimpangan
yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran
Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan
adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri
semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan
terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi
dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia
dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk
melakukan perbuatan yang ekstrem.
Dalam pembentukannya, Muhammadiyah
banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104
yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh
Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan
dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan
tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan
ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai
alat gerakan yang niscaya.
Sebagai dampak positif dari
organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat
pendidikan di seluruh Indonesia.
- Al-Ishlah Wa Irsyad (Jakarta, 1915)
Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad
adalah Al-’Alamah Syeikh Ahmad Surkati Al-Anshori, seorang ulama besar Mekkah
yang berasal dari Sudan. Pada mulanya Syekh Surkati datang ke Indonesia atas
permintaan perkumpulan Jami’at Khair -yang mayoritas anggota pengurusnya
terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid, dan berdiri
pada 1905.
Perhimpunan Al-Irsyad mempunyai
sifat khusus, yaitu Perhimpunan yang berakidah Islamiyyah dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat, di bidang pendidikan, pengajaran, serta social dan
dakwah bertingkat nasional. (AD, ps. 1 ayat 2).
- Persatuan Islam (Bandung, 12 September 1923)
Lahirnya Persis Diawali dengan
terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung
yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan
kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam,
menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi
baru dengan cirri dan karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923,
bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi
mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis
ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha
dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan
kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan
rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini
didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang
teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan
janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.
Pada dasarnya, perhatian Persis
ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai
macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum,
tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah
(pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas
keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara
kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah,
Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai
dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren
Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul
Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian menerbitkan
berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam
(1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa
(1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah
Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang
diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan
rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di
daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari
cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta
masyarakat luas.
- Nahdatul Ulama (Surabaya, Januari 1926)
Keterbelakangan baik secara mental,
maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat
kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk
memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional“.
Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana – setelah rakyat
pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain.
Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Berangkan komite dan berbagai
organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu
untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk
mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai,
akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi
ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Usaha yang dirintis oleh Nahdatu
Ulama adalah :
- Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah
dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan
dalam perbedaan.
- Di bidang pendidikan, menyelenggarakan
pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim
yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan
lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar
di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
- Di bidang sosial budaya, mengusahakan
kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman
dan kemanusiaan.
- Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan
kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan
berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan
Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
- Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi
masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi
masyrakat
2.
Pendidikan Islam pada masa penjajahan
Jepang.
Jepang menjajah Indonesia setelah mengusir pemerintah Hindia Belanda dalam
Perang Dunia ke II.Mereka menguasai Indonesia pada tahun 1942,dengan
semboyan:Asia Timur Raya untuk Asia dan semboyan Asia baru. [4]
Pada babak pertamanya pemerintah Jepang menampakkan diri seakan-akan membela
kepentingan Islam,yang merupakan suatu siasat untuk kepentingan Perang Dunia Ke
II.
Untuk
mendekati umat Islam Indonesia mereka menempuh kebijaksanaan antara lain:
1)
Kantor Urusan Agama yang pada zaman belanda disebut:Kantor Voor islamistische
Saken yang dipimpin oleh orang-orang Orientalisten Belanda,diubah oleh Jepang
menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri yaitu K.H.Hasyim
Asy’ari dari Jombang dan di daerah-daerah dibentuk Sumuka.
2)
Pondok pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari
pembesar-pembesar jepang
3)
Sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik denagn ajaran
agama.
4)
Disamping itu pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hisbullah untuk
memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam.barisan ini dipimpin
oleh K.H.Zainul Arifin.
5)
Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolag Tinggi Islam di Jakarta yang
dipimpin oleh K.H.Wahid Hasyim,kahar Muzakir dan Bung Hatta.
6)
Para ulama Islam bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin nasioanalis diizinkan
membentuk barisan Pembela Tanah Air(Peta).
7)
Umat islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut:Majelis Islam
A’la Indonesia(MIAI)yang bersifat kemasyarakatan[5]
.
Maksud
dari pemerintah Jepang adalah supaya kekuatan umat Islam dan nasionalis dapat
dibina untuk kepentingan perang Asia timur Raya yang dipimpin oleh Jepang
Perang Dunia
ke II menghebat dan tekanan pihak sekutu kepada Jepang makin berat.Beberapa
tahun menjelang berakhirnya perang itu tampak semakin jelas betapa
beratnya Jepang mengahadapi musuh dari luar dan oposisi dari rakyat Indonesia
sendiri.Dari segi militer dan sosial politik di Indonesia Jepang menampakkan
diri sebagai penjajah yang sewenang-wenang dan lebih kasar daripada penjajah
Belanda.Kekayaan bumi Indonesia dikumpulkan secara paksa untuk membiayai perang
Asia Timur Raya,sehingga rakyat menderita kelaparan dan hampir telanjang karena
kekurangan pakaian.Di samping itu rakyat dikerahkan kerja keras(romusha) untuk
kepentingan perang.
Jepang membentuk badan-badan pertahanan
rakyat seperti Haihoo,Peta,Keibodan,Seinan dan lain sebagainya,sehingga
penderitaan rakyat lahir dan batin makin tak tertahankan lagi.Maka timbullah
pemberontakan-pemberontakan baik dari golongan Peta di Blitar Kyai yang
ditangkap dan dipenjarakan oleh Jepang.
Dunia
pendidikan secara umum terbengkalai,karena murid-murid sekolah tiap hari hanya
disuruh gerak badan,baris barbaris,bekerja bakti(romusha),bernyanyi dan lain
sebagainya.Yang masih agak beruntung adalah madrasah-madrasah yang berada dalam
lingkungan pondok pesantren yang bebas dari pengawasan langsung pemerintah
Jepang.Pendidikan dalam pondok pesantren masih dapat berjalan dengan agak
wajar.
Pendidikan
islam zaman penjajahan jepang dimulai pada tahun 1942-1945, sebab bukan hanya
belanda saja yang mencoba berkuasa di Indonesia.
Dalam perang
pasifik (perang dunia ke II), jepang memenangkan peperangan pada tahun 1942
berhasil merebut indonesia dari kekuasaan belanda. Perpindahan kekuasaan ini
terjadi ketika kolonial belanda menyerah tanpa sayarat kepada sekutu.
Penjajahan jepang di indonesia mempunyai konsep hokko ichiu (kemakmuran bersama
asia raya) dengan semboyan asaia untuk asia Jepang mengumumkan rencana
mendirikan lingkungan kemakmuran bersama asia timur raya pada tahun 1940.
Jepang akan menjadi pusat lingkungan pengaruh atas delapan daerah yakni:
manchuria, daratan cina, kepuluan muangtai, malaysia, indonesia, dan asia
rusia. Lingkungan kemakmuran ini disebut dengan hakko I chi-u (delapan benang
dibawah satu atap).
Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang
mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan
ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang
sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan
pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang
Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang
kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki
implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal
tersebut antara lain:
1. Dijadikannya
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa
Belanda
2.Adanya
integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan
kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sementara
itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
1.
Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum
orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim
Asy’ari.
2.
Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;
3.
Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni
kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
4.
Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H.
Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
5.
Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air
(PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan
6.
Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun
kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU Lepas
dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika
itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah
tercapainya kemerdekaan.[6]
Kepercayaan jepang ini dimanfaatkan juga oleh umat islam untuk bagkit
memberontak melawan jepang sendiri. Pada tanggal 8 juli 1945 berdirilah sekolah
tinggi islam di Jakarta. Kalau ditinjau dari segi pendidikan zaman jepang umat
islam mempunya kesempatan yang banyak untuk memajukan pendidikan islam,
sehingga tanpa disadari oleh jepang sendiri bahwa umat islam sudah cukup
mempunyai potensi untuk maju dalam bidang pendidikan ataupun perlawanan kepada
penjajah. Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat
diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah
Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan
konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia
Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah
Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah
Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan.
Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan,
pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi.[7]
Disini
beberapa tujauan pendidikan islam ketika zaman penjajahan antara lain:
a. azaz
tujuan muhamadiyah: mewujudkan masyarakat islam yang sebenarnya dan azaz
perjuangan dakwah islamiyyah dan amar ma’ruf nahi Munkar
b. INS(Indonesische Nadelanshe School)
dipelopori oleh Muhammad syafi’i )1899-1969) bertuan memdidik anak untuk
berpikir rasional, mendidik anak agar bekerja sungguh-sungguh, membentuk
manusia yang berwatak dan menanam persatuan.
c. Tujuan Nahdlatul Ulama’, sebelum menjadi
partai politik memgang teguh mahzab empat, disamping mejadi kemaslahatan umat
islam itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan
islam pada zaman kolonial belanda tidak mendapat rintangan.hal ini ditandai
dengan bermunculanya lembaga-lembaga pendidikan yang semuanya berjalan dengan
lancar walaupun terlihat abiturienya tidak bisa diterima oleh mereka dan yakin
kalau kesadaran dari pihak islam telah timbul untuk tidak bekerja pada belanda
yang telah menjadi perintang kemajuan bangsa. Kenyataan
seperti ini sayang msih berlaku sampai sekarang sehingga orang-orang islam
kurang berperan dalam pemerintahan. Hal ini tentu penyebabnya adalah melemahnya
kekuatan politik islam walaupun islam di indonesia mencapai jumlah yang sangat
banyak.
Pada masa
jepang tujuan pendidikan islam yang pertama adalah menanamkan rasa keislaman
yang benar guna kepentingan dunia dan Akhirat, dan yang kedua membelah bangsa
dan tanah air untuk memdapatkan kemerdekaan bangsa itu sendiri ataupun
kemerdekaan secara manusiawi.
Daftar Pustaka
http://www.slideshare.net/anannur/pendidikan-di-indonesia-pad
. diunggah pada tanggal 6-11-2011 pkl. 22.00
Zuhairini,
dkk, Sejarah Pendidikan Islam, ( Bumi
Aksara, Dirjend. Binbaga Islam:
Jakarta, 1986.)
http://www.slideshare.net/anannur/pendidikan-di-indonesia-pad
. diunggah pada tanggal 6-11-2011 pkl. 22.00
Taqiyyudin,
Sejarah pendidikan melacak geneologi pendidikan Islam Indonesia,( Mulia Press, Bandung.)
Mahmud
Yunus, sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,( hidakarya Agung, Jakarta, 1985)
Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ( Raja
Grafindo, jakarta, 1999)
[1] http://www.slideshare.net/anannur/pendidikan-di-indonesia-pad
. diunggah pada tanggal 6-11-2011 pkl. 22.00
[2] Zuhairini, dkk, Sejarah
Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Dirjend. Binbaga Islam, Jakarta, 1986, hal. 146.
[3] http://www.slideshare.net/anannur/pendidikan-di-indonesia-pad
. diunggah pada tanggal 6-11-2011 pkl. 22.00
[4] Taqiyyudin, Sejarah
pendidikan melacak geneologi pendidikan Islam Indonesia, Mulia Press, Bandung,
hal. 181
[7] Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Raja Grafindo, jakarta, 1999 hal. 60
<script data-ad-client="ca-pub-7632944160334815" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<script data-ad-client="ca-pub-7632944160334815" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>